PERANAN MANAJEMEN K3 DALAM
PENCEGAHAN KECELAKAAN KERJA KONSTRUKSI
Bambang Endroyo
Jurusan
Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang (UNNES)
ABSTRAK
Satu dari beberapa karakteristik proyek
konstruksi yaitu mempunyai resiko yang tinggi terhadap kecelakaan. Dengan
semakin banyaknya penggunaan alat-alat kerja yang canggih, walaupun telah
dilengkapi dengan system keamanan, resiko kecelakaan tetap semakin besar.
Selanjutnya sesuai teori Maslow, kebutuhan rasa aman akan muncul setelah kebutuhan
tingkat pertama (phisik dan biologis) terpenuhi, sehingga mulai sekarang keselamatan
merupakan hal yang harus diusahakan pemenuhannya. Teori lama menganggap bahwa
kecelakaan terjadi karena kesalahan pekerja (individual). Sekarang, kecelakaan dianggap
akibat dari faktor organisasi dan manajemen yang salah. Sejalan dengan
teori-teori terbaru, maka peran manajemen sangat berarti dalam pencegahan
kecelakaan. Dalam tulisan ini, peran manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) dibahas dari fungsifungsi manajemen, sumber-sumber daya
yang digunakan, dan aspek lain yang relevan.
1. PENDAHULUAN
Angka
kecelakaan kerja di Indonesia masih termasuk buruk. Pada tahun 2004 saja, lebih
dari seribu tujuh ratus pekerja meninggal di tempat kerja. Menurut Juan
Somavia, Dirjen ILO,
industri
konstruksi termasuk paling rentan kecelakaan, diikuti dengan anufaktur makanan
dan minuman
(Kompas, 1/05/04). Tidak saja di negara-negara berkembang, di negara maju
sekalipun
kecelakaan kerja konstruksi masih memerlukan perhatian serius. Penelitian yang
dilakukan oleh
Duff (1998) dan Alves Diaz (1995) menyatakan hasil analisa statistik dari
beberapa
negara-negara menunjukkan peristiwa tingkat kecelakaan fatal pada proyek
konstruksi adalah lebih tinggi dibanding rata-rata untuk semua industri, dalam
Suraji (2000).
Dahulu, para
ahli menganggap suatu kecelakaan disebabkan oleh tindakan pekerja
yang salah.
Sekarang anggapan itu telah bergeser bahwa kecelakaan kerja bersumber
kepada
faktor-faktor organisasi dan manajemen. Para pekerja dan pegawai mestinya dapat
diarahkan dan
dikontrol oleh pihak manajemen sehingga tercipta suatu kegiatan kerja yang
aman. Sejalan
dengan teori-teori penyebab kecelakaan yang terbaru, maka pihak
manajemen harus
bertanggungjawab terhadap keselamatan kerja para pekerjanya. Tulisan ini
akan membahas
peranan manajemen dalam usaha-usaha pencegahan kecelakaan kerja di
proyek
konstruksi.
2. TINJAUAN
UMUM
2.1 Tinjauan
Historis
Secara historis, keselamatan kerja telah banyak
diperhatikan sejak zaman dahulu. Hammurabi, raja Babilonia pada tahun 2040 SM
telah membuat dan memberlakukan suatu peraturan bangunan yang dikenal sebagai
The Code of Hammurabi. Beberapa pasal dalam peraturan tersebut antara lain: (a)
apabila
seseorang
membuat bangunan dan bangunan tersebut runtuh sehingga menimbulkan korban jiwa
maka pembuat bangunan tersebut harus dihukum mati dan (b) apabila bangunan yang
dibuat runtuh dan menimbulkan kerusakan pada hak milik orang lain maka pembuat
bangunanharus mengganti semua kerusakan yang ditimbulkannya. Jadi aspek
keamanan telah
menjadi
persyaratan utama yang mutlak harus dipenuhi sejak zaman dahulu kala, Suhendro (2003).
Lima abad kemudian, Mozai raja setelah Hammurabi mengharuskan para ahli bangunan
bertanggung jawab pula pada keselamatan para pelaksana dan pekerjanya, Suma’mur
(1981). Masalah-masalah keselamatan kemudian meluas ke Yunani, Romawi dan
lain-lain, misalnya di Perancis tahun 1840, Inggris tahun 1644, Belgia tahun
1810, Denmark dan Swiss tahun 1877, Amerika Serikat tahun 1886, dan sebagainya.
Selanjutnya diadakan konggres-konggres internasional misalnya di Paris tahun
1889, di Bern tahun 1891 dan di Milan tahun 1894, Suma’mur (1981). Pada abad
sembilan belas, di tahun 1904 perhatian terhadap kecelakaan dan kondisi kerja
di dalam pekerjaan pembangunan diadakan untuk melayani permintaan masyarakat,
tetapi sampai 1926 peraturan pembangunan yang telah dihasilkan adalah dalam
lingkup terbatas yaitu hanya diberlakukan bagi lokasi yang di atasnya ada gaya
mekanis yang digunakan. Dari 1930 sampai 1948 peraturan-peraturan tersebut
telah menjadi ketinggalan jaman sebab intervensi Perang Dunia Kedua, Davies
(1996).
Setelah
itu, karena bertambahnya angka kecelakaan, maka diberlakukan berbagai peraturan
baru, misalnya The Building (Safety Health and Welfare) Regulation
1948; The Construction (General Provision) Regulation 1961;
Contruction (Health and Welfare) Regulation 1966; The Health and safety
at Work (HSW) Act 1974; Management of Health and Safety at Work
Regulation 1992; Construction Design and Management (CDM) 1994;
The Construction Health, Safety and Welfare (CHSW) Regulation1996,
Davies (1996). Kemudian muncul Health and safety in roof work HSG33 (Second edition)
HSE Books 1998 ISBN 0 7176 1425
5;
Health and safety in cons-truction HSG150 (Second edition) HSE Books 2001 ISBN
0 7176 2106 5 (www.hsebooks.co.uk;
www.hse.gov.uk). Untuk pekerjaan-pekerjaan secara umum, berlaku pula
OHSAS 18001 tahun\ 1999. Sedangkan di Indonesia, keselamatan
kerja
sudah
diadakan sejak zaman penjajahan Belanda, namun sasarannya lebih banyak ke hasil
kerja dan alat-alat kerja disbanding memperhatikan pekerjanya. Program itu
lebih dikenal dengan “kerja paksa”. Setelah merdeka, perhatian tentang
keselamatan dan kesehatan serta kesejahteraan pekerja mulai banyak diperhatikan
terbukti dari peraturan-peraturan dan undang-undang yang dihasilkan. Bersumber dari
pasal 27 ayat 2 UUD 1945, terbit beberapa UU dan kemudian PP dan Keputusan
Menteri, yang antara lain sebagai berikut. UU Kerja tahun 1951, UU Kecelakaan
tahun 1951, PP tentang istirahat bagi pekerja tahun 1954, UU No. 1 tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketena-gakerjaan, Per Menaker
No. 01/1980 tentang K3 pada Konstruksi Bangunan, SKB Men PU dan Menaker No.
174/Men/1986 – 104/kpts/1986 tentang Keselamatan & Kesehatan Kerja pada Tempat
Kegiatan Konstruksi, Keputusan Men PU No. 195/kpts/1989 tentang K3 pada tempat konstruksi
di lingkungan PU, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 tentang
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja., Surat Edaran Menteri PU Nomor:
03/SE/M/2005 Perihal Penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah
TA 2005. Walaupun telah banyak usaha yang dijalankan, namun Indonesia masih
menempati urutan ke lima (terburuk) di kawasan ASEAN.
2.2
Beberapa
Kasus Kecelakaan Kerja
Data tentang kecelakaan kerja secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut. Di Singapura 6,3 per 1000 pekerja di tahun 1998 (data
dari aposho-kohsa). Di Malaysia, angka kecelakaan tercatat 16 tiap 1000 pekerja
pada tahun 1994 dan 11 per 1000 pekerja pada tahun 2000 (Regional Conference on
OSH di Kuala Lumpur pada 20th March 2001). Di Thailand terdapat sekitar 769
orang meninggal dalam kecelakaan kerja tahun 2003, atau bertambah
lebih
dari 18 persen dibandingkan dengan tingkat kecelakaan pada tahun 2002. Jumlah
korban juga bertambah, sekitar 189.621 orang padatahun 2001 hingga lebih dari
200.000orang pada tahun 2003, atau setara dengan 600 kecelakaan setiap hari.
(Kompas 1/5/2004). Di Indonesia tahun 2004, 1.736 pekerja meninggal di tempat
kerja, 9.106 mengalami cacat dan 84.576 lainnya sementara tidak mampu bekerja
tetapi kemudian dapat bekerja kembali, Depnakertrans (2005). Sementara itu, di
negara maju misalnya Inggris, kecelakaan fatal sudah relatif kecil, yaitu 4
dari 100.000 pekerja di tahun 1999, Howarth (2000). Di Amerika, angka
persentase kecelakaan pekerjaan konstruksi mencapai 12%, Barrie (1990). Oleh
karena itu di Indonesia masih perlu usaha-usaha yang terencana dan terkoordinasi
agar dapat mencapai hasil baik, yang pada gilirannya akan meningkatkan citra di
forum internasional. Untuk kasus-kasus kecelakaan kerja konstruksi, beberapa
kejadian yang sempat dicatat dapat disampaikan pada tulisan ini adalah sebagai
berikut: Lima buruh bangunan tewas terjatuh dari lantai 15 di proyek gedung di
Slipi Jaya Jakarta, Suara Merdeka (5/9/1991); Empat pekerja tewas tertimbun
reruntuhan bangunan yang mereka kerjakan di Medan, Kompas (25/ 3/1991); Empat
tewas terjebak gas beracun pada proyek pembersihan kerak gorong-gorong saluran
uap di PLTU Semarang, Suara Merdeka (5/6/1991) dan hal ini terulang lagi pada
peristiwa di Jakarta tahun 2005; Jembatan layang Grogol seberat 600 ton ambruk
dengan korban tewas 3 orang, Kompas (23/3/1996); Dua pekerja tewas tertimpa
beton, sementara sembilan pekerja lain terluka dan sore harinya dua lainnya
tewas kena setrum di proyek pembangunan Apartemen di Kelapa Gading Jakarta,
Kompas (6/6/2003); Pembangunan ruko di Sunter akibat salah metode pelaksanaan,
Kompas Cyber Media (3/ 6/2004); Balok penopang jembatan Suramadu runtuh,
seorang pekerja tewas, Suara Merdeka Cyber News (14/6/2004). Dinding
bandara ambruk 8 tewas di Dubai pada pembangunan terminal baru bandara yang
direncanakan berbentuk satu sayap pesawat raksasa sepanjang hampir satu
kilometer, Suara Merdeka CyberNews (28/9/2004).
3. TINJAUAN
PUSTAKA
3.1 Teori
Penyebab Kecelakaan dan Manajemen K3
Kecelakaan adalah kejadian merugikan yang tidak
direncanakan, tidak terduga, tidak
diharapkan
serta tidak ada unsur kesengajaan, Hinze (1977). Ada beberapa teori yang
menjelaskan penyebab suatu kecelakaan. Dahulu teori penyebab kecelakaan
memandang bahwa kecelakaan disebabkan oleh tindakan pekerja (orang) yang salah
(misalnya pada The Accident-Proneness Theory). Semenjak
dikenalkannya The Chain-of-Events Theory, The Domino Theory, dan The
Distraction Theory, maka pihak organisasi dan manajemenlah yang dianggap
berperan sebagai penyebab suatu kecelakaan. Anggapan tentang kecelakaan kerja
yang bersumber kepada tindakan yang tidak aman yang dilakukan pekerja telah
bergeser dengan anggapan bahwa kecelakaan kerja bersumber kepada faktorfaktor organisasi
dan manajemen (Andi, 2005). Pihak manajemen harus bertanggungjawab terhadap
keselamatan. Para pekerja dan pegawai mestinya dapat diarahkan dan dikontrol oleh
pihak manajemen sehingga tercipta suatu kegiatan kerja yang aman. Pada teori
yang terbaru makin terlihat bahwa penyebab kecelakaan kerja semakin komplek.
Teori-teori baru itu antara lain: Multiple Caucation Model, Suraji
(2000) dan Constraint Respone Theory, Suraji (2001). Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (MK3) adalah bagian dari system manajemen
secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab,
pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan,
penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan K3 dalam rangka pengendalian
risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja, guna terciptanya tempat kerja yang
aman, efisien dan produktif. Berangkat dari kajian Total Project Management (ECI,1995),
keselamatan perlu diintegrasikan dalam proyek, mulai dari konsepsi sampai
proyek selesai (from conception to completion). Dikatakan selanjutnya
bahwa kegiatan penilaian tentang\ keselamatan, kesehatan dan lingkungan perlu dimulai
dari tahap perencanaan proyek (project plan), kontrak, evaluasi
tender, konstruksi, sampai ke tahap pemeliharaan dan bahkan sampai ke perobohan
(demolition) (ECI,1995). Konsep rasional Total Safety Control adalah
suatu pengintegrasian tindakan manajemen dan tindakan pelaksanaan yang sinergis
untuk mempromosikan suatu proses konstruksi yang aman (Suraji,2004). Ada banyak
pendekatan dalam manajemen K3, diantaranya menurut OHSAS 18001, dan menurut TQM
di mana keselamatan merupakan suatu pusat dan focus integral dalam program
pengendalian mutu
terpadu,
Fiegenbaum (1991) yang harus ditingkatkan secara terus menerus untuk memenuhi
kepuasan pelanggan (intern-ekstern). Pada tulisan ini akan dibahas dari
fungsi-fungsi manajemen, sumber-sumber yang terlibat, dan beberapa aspek yang
relevan.
3.2
Tinjauan dari Fungsi-fungsi Manajemen
Apabila
dilihat dari fungsi-fungsi manajemen, terdapat fungsi perencanaan, organisasi, pelaksanaan,
dan pengawasan. Pada fungsi perencanaan, disamping terfokus pada tugas operasional
juga harus mencakup usaha-usaha keselamatan dan kesehatan kerja (K3), yang dipersiapkan
untuk pencegahan terjadinya kecelakaan. Tanggung jawab harus digariskan dengan
tegas agar tidak terjadi kesimpangsiuran yang justru dapat membahayakan. Perlu
pula menganalisis bahaya-bahaya apa saja yang mungkin akan timbul pada suatu
pekerjaan dan bagaimana mengatasinya. Dalam suatu kontrak kerja pekerjaan
keinsinyuran perlu dibuat pasalpasal yang mengatur secara preventif keselamatan
kerja dengan menunjuk UU dan peraturan yang berlaku (Yasin: 2003). Sebagai contoh
menunjuk UU Ketenagakerjaan, UU Jamsostek, UU Kerja dan sebagainya).
Kontrakkontrak internasional (FIDIC, SIA, JTC) telah mencantumkan artikel atau
pasal tentang K3. Proses perencanaan keselamatan untuk masa depan (tahap
konstruksi) juga diusulkan oleh Chua DKH & YM Goh (2004) Pada fungsi
organisasi, perlu dibentuk satuan tugas yang dapat melaksanakan K3 dengan baik.
Untuk itu perlu disediakan kantor yang mencukupi dan organisasi yang memadai.
Dalam
suatu
perusahaan perlu dibentuk P2K3 (Panitia Penyelenggara K3) yang bertanggung
jawab
atas
keselamatan dan kesehatan kerja di kegiatan industri. Hinze & Figone (1988)
menyarankan diselenggarakan safety meeting untuk supervisor lapangan dan
owner ikut dalam safety meeting, dan pekerjakan supervisor keselamatan
secara full-time. Liska et al. (1993) juga mengusulkan adanya safety
meeting. Pada fungsi pelaksanan, apa yang telah direncanakan hendaknya
dilaksanakan dengan baik. Karena kecelakaan yang terjadi sebagian besar
ditimbulkan oleh faktor manusia, manajemen dituntut memberikan pengarahan pelaksanaan
dan petunjuk yang jelas (directing) dan koordinasi. Banyak kecelakaan
terjadi karena pekerja masih baru dan belum familiar dengan proses dan alat
kerja. Untuk melaksanakan itu semua diperlukan ketrampilan manajemen antara
lain komunikasi dan kepemimpinan. Sehubungan dengan ini Liska et al. (1993)
mengusulkan Preproject Safety termasuk safety goal, safety policy
& procedure, safety personal, safety budget. Selanjutnya
dikatakan bahwa training dan insentive terhadap keselamatan punya pengaruh
terhadap pencegahan kecelakaan. Fungsi pengawasan merupakan fungsi yang penting
karena merupakan tindakan control apakah semua yang direncanakan itu telah dilaksanakan,
dan apakah ada kendala dan persoalan-persoalan yang perlu dicari penyelesaiannya.Untuk
menjamin bahwa system manajemen K3 dilaksanakan dengan baik, pengawas dari Dep.
Ketenagakerjaan melaksanakan asesmen yang antara lain
meliputi:
a.
pembangunan dan pemeliharaan komitmen K3,
b.
strategi dokumentasi dan pengendalian dokumen,
4.
PEMBAHASAN
Sebagai
suatu kegiatan industri, proyek konstruksi mempunyai berbagai sumber (resources).
Menurut Harold Kerzner (1995), sumber-sumber itu adalah manusia, uang, peralatan,
fasilitas, material dan informasi. Beberapa ahli yang lain mengemukakan bahwa sumber-sumber
tersebut dapat disingkat menjadi 5M yaitu Man. Material, Money, Machine,
dan Method. Semua fungsi manajemen harus dikenakan kepada semua komponen
usaha tersebut. Pada aspek manusia, diperlukan perencanaan pengaturan tentang
jam kerja, istirahat kerja, pelatihan, dan pengarahan tentang K3. Pada aspek
uang, diperlukan alokasi biaya untuk pencegahan kecelakaan. Saat ini biaya K3
belum secara eksplisit tercantum dalam penawaran biaya proyek, sementara para
kontraktor sudah dibebani dengan biaya asuransi jaminan kecelakaan kerja.
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-196/Men/1999 tentang
penyelenggaraan program jaminan social tenaga kerja bagi tenaga kerja harian
lepas, borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu pada sektor jasa
konstruksi, diatur sebagai
berikut:
(lihat tabel 1) Seharusnya besar biaya keselamatan kerja ini
secara eksplisit dimasukkan dalam penawaran proyek, sehingga terjamin
pelaksanaannya. Dalam proyek perumahan, tingkat system kompetisi
cenderung memaksimalkan produktivitas dan meminimalkan harga, juga untuk
biaya keselamatan, Johnson (1996). Manajemen keselamatan kerja yang
efektif akan menguntungkan perusahaan karena kecelakaan akan menimbulkan
biaya langsung maupun biaya tidak langsung (Levitt, 1993). Biaya langsung terdiri
dari biaya medis, premi untuk asuransi, kerugian hak milik, Oberlender (2000).
Biaya
tak
langsung adalah biaya tambahan lain, pengurangan produktivitas, keterlambatan
jadwal, bertambahnya waktu administratif, kerusakan fasilitas, dan hal yang
makin sulit diukur tetapi riil yaitu penderitaan manusia dan menurunnya moril,
Levitt (1993). Juga nama perusahaan akan terkena dampak buruk yang dapat
berakibat berkurangnya pelanggan yang jelas berpengaruh terhadap masuknya dana
perusahaan. Berdasarkan komponen material dan mesin alat yang dipakai, haruslah
digunakan yang sesuai dengan standar yang disyaratkan. Penggunaan/pembuatan
beton harus yang sesuai dengan kekuatan yang ditetapkan oleh spesifikasi,
karena penggunaan beton yang kurang akan dapat menyebabkan kecelakaan baik
selama tahap kontruksi maupun tahap pemanfaatan bangunan. Begitu pula dengan material
yang lain. Alat/mesin yang dipakai harus dijamin yang masih dalam kondisi baik
yang dibuktikan dengan perawatan yang teratur dan sertifikat kemampuan alat
yang masih berlaku.
Keran
(crane) dan rantai baja misalnya harus betul-betul dicek dari segi
keselamatan pemakaiannya. Metode kerja/pelaksanaan berkembang karena tuntutan
manusia untuk membangun di tempat-tempat yang sulit dengan bentuk bentuk bangunan
yang sangat bervariasi/sulit, serta keinginan penggunaan dana yang minimal. Metode
kerja/pelaksanaan yang diciptakan itu harus ditinjau dari segi keselamatan.
Dengan kata lain, alat-alat keselamatan apa yang harus disediakan dalam
menggunakan suatu metode pelaksanaan? Proyek proyek gedung Jakarta Tower,
jembatan Barelang, jembatan Suramadu dan proyek besar lainnya jelas memerlukan metode
pelaksanaan yang harus dikenali hazard yang ada sedini mungkin. Informasi,
merupakan sumber yang sekarang sampai masa datang sangat berperan dalam
pencegahan kecelakaan. Informasi tentang kecelakaan dan sebab-sebab nya dapat ditampung
dalam suatu file yang terbuka untuk umum sehingga para pelaksana/kontraktor
suatu pekerjaan dapat mengakses informasi tentang kecelakaan yang timbul pada
pekerjaan sejenis. Selanjutnya mereka diharapkan dapat menghindari kecelakaan
itu. Informasi-informasi
5. KESIMPULAN
Dengan meningkatnya penggunaan alat-alat
yang
lebih canggih dan tantangan pekerjaan teknik
sipil yang semakin sulit, maka angka kecelakaan
kerja konstruksi bisa semakin tinggi. Sedangkan
pada pihak pekerja, kebutuhan akan keselamatan
kian menjadi tuntutan seiring dengan telah
mulai terpenuhinya kebutuhankebutuhan dasar.
Oleh karena itu mulai sekarang harus ada
usaha-usaha serius untuk mengurangi kecelakaan
kerja konstruksi. Manajemen K3 sangat berperan
dalam pencegahan kecelakaan di proyek
konstruksi. Peran tersebut mulai dari perancanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan.
Selanjutnya dapat pula ditinjau dari komponen
manusia, material, uang, mesin/alat, metode
kerja, informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Andi,
Model Persamaan Struktural Pengaruh Budaya Keselamatan Kerja pada Perilaku
Pekerja di Proyek Konstruksi. Jurnal Teknik Sipil Volume 12 No. 3, Juli
2005.
Barrie,
Donald S. et. al. Manajemen KonstruksiProfesional. Terjemahan
oleh Sudinarto: Penerbit Erlangga. Jakarta ,1990.
Cua,
D.K.H dan Y M Goh, Incident Causation Model for Improving Feedback of Safety
Knowledge. Journal of Construction Engineering and Management, July/Aug 2004.
Europan
Construction Institute total Project Management of Construction Safety,
Health and Environment. Thomas Telford. 1995.